Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Lailatul qadar
adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang terluput dari lailatul qadar,
maka dia telah terluput dari seluruh kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang
luput dari malam tersebut. Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ
خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَ
نْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ
حُرِمَ
“Di bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik dari
1000 bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di dalamnya, maka
dia akan luput dari seluruh kebaikan.”[16]
Oleh karena itu,
sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat beribadah ketika itu dengan dasar
iman dan tamak akan pahala melimpah di sisi Allah. Seharusnya dia dapat
mencontoh Nabinya yang giat ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
‘Aisyah menceritakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.”[17]
Seharusnya setiap
muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu, menjauhi istri-istrinya dari
berjima’ dan membangunkan keluarga untuk melakukan ketaatan pada malam
tersebut. ‘Aisyah mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ
مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan),
beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari
berjima’[18]), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan
keluarganya.”[19]
Sufyan Ats Tsauri
mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam
tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan
shalat jika mereka mampu.[20]
Adapun yang
dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar adalah menghidupkan
mayoritas malam dengan ibadah dan tidak mesti seluruh malam. Bahkan Imam Asy
Syafi’i dalam pendapat yang dulu mengatakan, “Barangsiapa yang mengerjakan
shalat Isya’ dan shalat Shubuh di malam qadar, maka ia berarti telah dinilai
menghidupkan malam tersebut”.[21] Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan
hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an.[22] Namun
amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar
berdasarkan hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar
karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu
akan diampuni.”[23]
Bagaimana Wanita
Haidh Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Juwaibir pernah
mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak, “Bagaimana pendapatmu
dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur (namun hatinya dalam
keadaan berdzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?”
Adh Dhohak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja
yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.”[24]
Dari riwayat ini
menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian
lailatul qadar. Namun karena wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan
shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan
lainnya. Yang dapat wanita haidh lakukan ketika itu adalah,
1. Membaca Al Qur’an
tanpa menyentuh mushaf.[25]
2. Berdzikir dengan
memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid
(alhamdulillah) dan dzikir lainnya.
3. Memperbanyak
istighfar.
No comments:
Post a Comment