SABAR DAN SYUKUR
Abdullah bin Muhammad berkata, “Aku keluar menuju tepi pantai dalam
rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan
musuh)…tatkala aku tiba di tepi pantai, tiba-tiba aku telah berada di
sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran
tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya ada seseorang yang telah
buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya telah lemah
serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang
bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, “Ya Allah,
tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa
syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan
kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan
makhluk yang telah Engkau ciptakan”“
Abdullah bin Muhammad
berkata, “Demi Allah aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan
bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini, apakah
ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah ucapannya
itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya??.
Maka akupun
mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu kukatakan
kepadanya, “Aku mendengar engkau berkata “Ya Allah, tunjukilah aku agar
aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas
kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau
sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau
ciptakan“, maka nikmat manakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu
sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut?? dan kelebihan apakah
yang telah Allah anugerahkan kepadamu hingga engkau mensukurinya??”
Orang itu berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan
oleh Robku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar
kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk
menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk
menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka
tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur kepadaNya, karena
Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah (lisan)ku ini.
Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu
bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk
membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak
bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku,
di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia
menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga
hari ini aku kehilangan dirinya. Maka tolonglah aku, carilah kabar
tentangnya –semoga Allah merahmati engkau-”.
Aku berkata, “Demi
Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang
saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah,
lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk
menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau”.
Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari
situ aku sampai di suatu gundukan pasir. Tiba-tiba aku mendapati putra
orang tersebut telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Akupun
mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana
aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut??”. Dan tatkala aku
tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah
Nabi Ayyub ‘alaihi as-Salam. Lalu aku menemui orang tersebut dan akupun
mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata,
“Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”, aku berkata,
“Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk
membantuku?”.
Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di
sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ‘alaihis Salam?”, ia berkata, “Tentu Nabi
Ayyub ‘alaihis Salam “, aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah
diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya
dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?”, orang itu berkata, “Tentu
aku tahu”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan
tersebut?”, ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji
Allah”.
Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh
karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya”. Ia berkata, “Benar”. Aku
berkata, “Bagaimanakah sikapnya?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur
dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia
menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan,
tahukah engkau akan hal itu?”, ia berkata, “Iya”, aku berkata,
“Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?” Ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur,
dan memuji Allah, langsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah
merahmatimu-!!”.
Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku
temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan
dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu
dan menyabarkan engkau”. Orang itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang
tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia
menyiksanya dengan api neraka”, kemudian ia berkata, “Inna lillah wa
inna ilaihi roji’uun“, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal
dunia.
Aku berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“,
besar musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka
akan dimakan oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak
bisa melakukan apa-apa[2]. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang
ada di tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis.
Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku “Wahai
Abdullah, ada apa denganmu?, apa yang telah terjadi?”. Maka akupun
menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka
berkata, “Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!”, maka
akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya,
mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata, “Demi Allah, matanya
selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi
Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!”.
Aku bertanya kepada mereka, “Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati
kalian-?”, mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas, ia
sangat cinta kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai,
lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling dan
akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan.
Tatkala tiba malam hari, akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia
berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain
surga sambil membaca firman Allah
}سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ| (الرعد:24)
“Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran
kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. 13:24)
Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku
temui?”, ia berkata, “Benar”, aku berkata, “Bagaimana engkau bisa
memperoleh ini semua”, ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan
derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali
dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur
tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut
kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam kaeadaan di
depan khalayak ramai”
NOTE :
Bagi orang yang sering
mengamati isnad hadits maka nama Abu Qilabah bukanlah satu nama yang
asing karena sering sekali ia disebutkan dalam isnad-isnad hadits,
terutama karena ia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari
sahabat Anas bin Malik yang merupakan salah seorang dari tujuh sahabat
yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang
seiring dengan sering diulangnya nama Anas bin Malik.Ibnu Hibban dalam
kitabnya Ats-Tsiqoot menyebutkan kisah yang ajaib dan menakjubkan
tentangnya yang menunjukan akan kuatnya keimanannya kepada Allah.
Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para
ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau
meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin
Al-Huwairits –radhiallahu ‘anhuma- . Beliau wafat di negeri Syam pada
tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.
[1]
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Abdilmuhsin Firanda dari Kitab
Ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban, tahqiq As-Sayyid Syarofuddin Ahmad,
terbitan Darul Fikr, (jilid 5 halaman 2-5)
Sumber : http://ummusalma,wordpress,com
No comments:
Post a Comment